“Ada pula hambatan, persis di depan
retinamu, ia adalah kesalahan kawan selangkah seperjuangan yang begitu besar
terlihat oleh kesombonganmu melebihi besarnya pengorbanan yang telah ia persembahkan
bersamamu dalam langkah yang semakin menjauh ini.”
Sebuah
kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang selain dari diri kita, disadari
atau (pura-pura?) tak disadari terkadang begitu nikmat untuk dijadikan sebagai
tema perbincangan. Kita lantas mengambil dalih dalam rangka evaluasi dan
perbaikan untuk ke depannya. Perlahan kita berbisik bersama kawan seperjuangan
lainnya tentang si fulan yang bersikap begini dan si fulanah yang mengambil
keputusan begitu. Tentang si akhi
yang sedang khilaf dan si ukhti yang
sedang keliru. Tak ada ruang untuk berbaik sangka sebab kita punya dalih bahwa
buruk sangkanya kita itu muncul tidak dengan sendirinya alias diundang sendiri
oleh yang diburuksangka-i.
Bisikan, ikwhatifillah, betapapun halusnya, jika
tentang sebuah kesalahan kawan seperjuangan adalah sembilu yang mampu menusuk
dan mengoyak ukhuwah. Periksalah niat kita dalam mengucapkan kata, benarkah ia
lahir dari keinginan untuk memperbaiki keadaan atau justru sedang menegaskan
kesalahan kawan? Adakah keikhlasan yang kita upayakan saat menyampaikan
pilihan-pilihan tentang perbaikan atau malah kita sedang memperlihatkan bahwa
kita ini yang paling hebat dan punya beragam solusi untuk setiap permasalahan
yang datang menghampiri?
Dalam dakwah
dan organisasi dakwah, ada hal yang peting. Namun, ada juga beragam hal yang
jauh lebih penting. Ada hal yang mendesak. Namun, tidak sedikit pula hal yang
jauh lebih mendesak. Apakah berbisik-bisik tentang kesalahan kawan seperjuangan
adalah sebuah kepentingan yang mendesak?
Ikhwatifillah, Andai ketika kita
bercermin, kita temukan sebuah wajah yang ternoktah, apakah kita akan memilih
untuk buru-buru menghapus noktah dalam cermin dengan cara menggosok-gosok
cermin itu? Atau kita banting saja cerminnya sebab telah begitu berani memperlihatkan
tampilan wajah yang tidak elok?
Orang-orang
yang cerdas tentu akan segera bergegas membasuh muka mereka sebab tahu betul
bahwa yang ada pada cermin itu adalah wajahnya. Dan betapa biijak sang Nabi
berkata: “Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain. Apabila ada
aib, maka ia memperbaikinya.” (H.R. Bukhori).
15
April 2012
Al Faqir IlaAllah, Akom Al Azam
0 komentar:
Post a Comment